Nasi kotak hingga 1500 box. Menu nasi tumpeng, nasi liwet, nasi kuning, nasi bakar

Episode 3 — “Arisan Heboh” [ Kisah di Balik Dapur ]

Siang itu, teriknya matahari membuat kampung RT 03 terasa lengang. Sebagian warga memilih berdiam di rumah, menunggu sore datang. Namun di rumah Ibu Ratna, suasana justru heboh.
Perempuan itu berlari-lari kecil di ruang tamu sambil memegang ponsel di telinga.

“Aduh, Mbak Wiwin… iya, arisan jadi jam tiga sore ini… Loh? Kateringnya batal?!” suaranya meninggi.

Dari teras rumahnya, Raka yang sedang mengupas jagung bisa mendengar kepanikan itu. Dia menoleh ke arah dapur. “Bu, kayaknya ada drama baru nih di rumah Ibu Ratna.”

Bu Waso sedang meracik bumbu ayam ungkep. “Drama apa lagi?”

“Kayaknya katering buat arisan batal,” jawab Raka sambil menyeringai. “Feeling saya… kita bakal jadi pahlawan dadakan.”

Tak lama, dugaan Raka terbukti. Ibu Ratna muncul di pintu dapur dengan napas terengah-engah.

“Bu Waso, tolong! Saya bingung. Tadi katering yang saya pesan untuk arisan sore ini mendadak nggak bisa datang. Pesertanya lima belas orang! Saya harus nyiapin apa?”

Bu Waso menghela napas, tapi wajahnya tetap tenang. “Oke, Bu Ratna. Jangan panik. Kita masih punya waktu empat jam. Raka, cepat bantu saya.”


Mereka bertiga duduk sebentar untuk menyusun rencana.
“Kalau mau cepat dan cantik, kita bikin nasi tumpeng mini aja,” usul Bu Waso.
“Nasi kuning, ayam goreng, sambal, sayur urap. Dikemas dalam kotak biar rapi.”

Raka menimpali, “Sekalian tambahkan perkedel kentang dan kerupuk biar makin meriah. Kita punya stok ayam ungkep frozen kan, Bu? Tinggal goreng, hemat waktu.”

“Bener,” jawab Bu Waso. “Nasi kuningnya kita masak di magic com besar, jadi bisa sambil menyiapkan lauk.”

Ibu Ratna mengangguk semangat, meski keringat masih bercucuran. “Tolong banget, Bu. Kalau arisan gagal, saya bisa jadi bahan gosip sampai Lebaran.”


Operasi “Tumpeng Kilat” dimulai.

Raka bertugas menyiapkan kotak dan hiasan daun pisang. Tangannya cekatan memotong sesuai ukuran.
Bu Waso mengukur beras, menambahkan kunyit, santan, daun salam, dan serai ke dalam magic com. Aroma harum mulai menguar, membuat perut siapa pun yang lewat tergoda.

Ayam ungkep frozen dikeluarkan dari freezer, dicairkan sebentar, lalu masuk ke wajan minyak panas. Suara “cessss” langsung memenuhi dapur. Kulit ayam berubah kuning keemasan, renyah di luar, empuk di dalam.

Sambil menunggu ayam matang, Bu Waso membuat urap sayur: kacang panjang, tauge, dan kelapa parut berbumbu. Raka membantu membuat sambal terasi, meski sedikit protes karena matanya pedih terkena uap cabai.


Dua jam kemudian, semua komponen siap. Proses menata nasi tumpeng mini dimulai.

Raka mengambil cetakan kerucut, memadatkan nasi kuning, lalu meletakkannya di tengah kotak. Di sekelilingnya, lauk disusun rapi: ayam goreng, urap, perkedel, kerupuk, dan sambal dalam plastik kecil.

“Waduh, ini kalau di-upload di Instagram pasti banyak yang nge-like,” komentar Raka sambil memotret satu kotak.

Bu Waso menepuk bahunya. “Upload aja. Sekalian promosi: ‘Tumpeng mini DAPUR WASO, penyelamat acara mendadak.’”

Raka langsung mengetik caption singkat dan mempostingnya. Dalam waktu lima menit, komentar dan pesan masuk. Ada yang memuji bentuknya, ada juga yang bertanya harga.


Tepat pukul setengah tiga, 15 kotak tumpeng mini sudah rapi di meja. Ibu Ratna datang dengan wajah lega.
“Masya Allah, cantik sekali! Saya nggak nyangka dalam waktu segini bisa jadi.”

“Bawa hati-hati ya, Bu,” pesan Bu Waso. “Jangan sampai miring di jalan.”

Raka membantu mengangkat kotak-kotak itu ke mobil Ibu Ratna. Sebelum berangkat, Ibu Ratna menepuk bahu Raka. “Kamu sama Bude ini pahlawan saya hari ini. Kalau nggak ada kalian, bisa berantakan acara arisan.”


Sore harinya, di tengah acara arisan, nasi tumpeng mini itu menjadi bintang utama. Semua peserta memuji rasanya. Ada yang langsung meminta nomor kontak Bu Waso untuk pesan di acara berikutnya.
Mbak Wiwin, yang tadinya panik karena katering batal, bahkan ikut memotret dan mengunggah foto dengan caption: “Rasa juara, penampilan mewah, datang tepat waktu! Terima kasih DAPUR WASO.”

Di dapur rumahnya, Bu Waso dan Raka membaca komentar itu sambil tersenyum.
“Bu, kalau setiap katering batal, kita dipanggil jadi penyelamat, bisa-bisa dapur kita nggak pernah sepi,” canda Raka.

Bu Waso tertawa. “Yang penting, kita siap. Mau acara mendadak atau terencana, makanan harus tetap enak dan rapi. Itu kuncinya.”


Menjelang malam, telepon rumah berdering. Raka yang mengangkat.

“Halo, ini Raka. Oh, iya, betul. Pesan untuk minggu depan? Berapa kotak? Wah, siap, Bu! Nasi tumpeng mini? Oke, kami catat.”

Begitu menutup telepon, Raka menoleh ke Bu Waso. “Bu… kita baru saja dapat pesanan 50 kotak untuk acara ulang tahun minggu depan.”

Bu Waso mengangguk pelan. “Alhamdulillah. Lihat kan, Rak? Kerja cepat dan hasil rapi itu selalu jadi promosi terbaik.”

Raka tersenyum. Hari itu ia belajar, bahwa kadang kesempatan besar datang dari masalah kecil—seperti katering yang batal—dan yang bisa memanfaatkannya hanyalah mereka yang siap.


Malam itu, sambil merapikan dapur, Bu Waso menatap ke luar jendela. Angin malam membawa aroma sisa masakan siang tadi. Dia membayangkan stand festival yang akan datang, dengan orang-orang berkerumun mencicipi nasi liwet, bandeng, dan tumpeng mini.

Di kursi rotan, Raka sudah tertidur sambil memeluk buku catatannya yang penuh coretan ide.
Bu Waso tersenyum. “Besok, kita mulai latihan menu lagi. Festival semakin dekat… dan dapur kita harus siap jadi juara.”


Bersambung ke Episode 4 — “Surat dari Jakarta”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar