Pagi itu, udara Sidoarjo masih segar. Jalanan kampung baru saja disapu warga, aroma tanah basah masih terasa setelah hujan semalam. Di DAPUR WASO, Raka duduk di kursi rotan, menulis daftar bahan untuk uji coba menu festival.
“Bu, kita butuh bandeng segar buat hari ini. Stok frozen tinggal dua ekor,” katanya sambil menatap catatan.
Bu Waso sedang memeriksa lemari bumbu. “Kalau gitu, kamu aja yang beli ke pasar, Rak. Tapi hati-hati, bandeng Sidoarjo itu cepat habis kalau telat datang.”
Raka menghela napas panjang, pura-pura berat hati. “Ya ampun… belanja ke pasar itu kan butuh skill tawar-menawar tingkat dewa, Bu. Saya kan bukan ibu-ibu gladiator.”
“Makanya belajar! Kalau mau ikut bisnis keluarga, nggak cukup cuma jago posting di Instagram,” jawab Bu Waso sambil menyerahkan tas belanja kain.
Pasar pagi Sidoarjo seperti biasa penuh warna dan suara. Pedagang sayur berteriak menawarkan dagangan, penjual ayam sibuk memotong pesanan, dan aroma rempah bercampur dengan wangi gorengan dari sudut pasar.
Raka berjalan cepat menuju kios Pak Darman, langganan Bu Waso.
“Pak Darman! Ada bandeng segar nggak?” sapa Raka.
Pak Darman, pria paruh baya dengan senyum ramah, mengangguk. “Ada, Mas Raka. Baru datang subuh tadi. Mau yang ukuran sedang atau besar?”
“Yang sedang aja, Pak. Lima ekor,” jawab Raka sambil melihat-lihat.
Sambil menunggu ikan dibersihkan, Raka mengambil kesempatan untuk membeli daun pisang dan cabai rawit. Setelah semua dibungkus, dia memasukkan bandeng ke dalam tas belanja kain, lalu pulang dengan santai sambil mampir sebentar membeli es kelapa muda di pinggir jalan.
Sesampainya di rumah, Raka meletakkan tas di meja dapur.
“Bu, ini bandengnya udah siap! Saya sekalian beli daun pisang.”
Bu Waso sedang memanggang ayam. “Bagus. Simpan di kulkas, nanti siang kita mulai.”
Raka pun mengangguk, lalu… pergi ke ruang tamu untuk menonton pertandingan bola yang direkam semalam.
Sementara itu, Bu Waso fokus dengan ayam bakarnya.
Waktu berlalu. Ketika matahari mulai condong ke barat, Bu Waso memanggil, “Rak, ayo kita bersihin bandengnya. Mana ikannya?”
Raka membuka kulkas. Kosong. Dia memeriksa bagian freezer. Juga tidak ada. Wajahnya berubah panik.
“Bu… bandengnya… hilang.”
“Rak, jangan bercanda. Kamu taruh di kulkas mana?” tanya Bu Waso, alisnya mulai naik.
“Sumpah, Bu, tadi saya taruh di sini. Di rak kedua, sebelah sambal terasi,” jawab Raka sambil membongkar semua isi kulkas.
Mereka berdua mencari di seluruh dapur: di atas meja, di keranjang, bahkan di lemari penyimpanan. Tidak ada bandeng.
Bu Waso meletakkan tangan di pinggang. “Kamu yakin nggak ditinggal di becak pas beli kelapa muda?”
“Enggak, Bu! Saya ingat banget udah taruh di sini. Jangan-jangan… ada maling bandeng?”
Raka berkata setengah bercanda, tapi nada suaranya mulai serius.
Misteri semakin aneh ketika Ibu Ratna datang sore itu.
“Bu Waso… ini saya mau balikin piring kemarin,” katanya sambil menaruh piring di meja.
Begitu melihat wajah panik Bu Waso dan Raka, Ibu Ratna langsung penasaran. “Lho, kenapa kalian kayak habis kehilangan warisan?”
“Kami kehilangan bandeng, Bu,” jawab Raka lesu.
“Lima ekor bandeng Sidoarjo segar, hilang dari kulkas.”
Ibu Ratna terperangah, lalu menutup mulutnya dengan tangan. “Aduh… jangan-jangan bandengnya nyasar ke rumah saya!”
“Lho, kok bisa?” tanya Bu Waso heran.
Ternyata, tadi siang anak Ibu Ratna, si Tono, main ke dapur Bu Waso. Dia mengira tas belanja di meja itu titipan ibunya yang beli ikan di pasar, jadi langsung dibawa pulang. Ikan itu sudah dibersihkan… dan sebagian sudah jadi pepes bandeng untuk makan siang keluarga Ratna.
Raka menepuk dahi. “Ya ampun… bandeng kita jadi korban salah paham.”
Untungnya, Bu Waso tidak marah. “Ya sudah, namanya rezeki salah alamat. Lagian, Tono kan nggak tahu.”
Tapi masalah belum selesai. Mereka masih butuh bandeng untuk uji coba. Waktu sudah sore, pasar mulai sepi, dan hampir semua pedagang bandeng sudah pulang.
Raka langsung menyalakan motor. “Bu, saya coba ke pasar induk. Kalau nggak ada, kita pakai stok frozen dulu.”
Di pasar induk, Raka berlari-lari kecil dari kios ke kios. Akhirnya dia menemukan satu pedagang yang masih punya stok bandeng segar. Harganya sedikit lebih mahal, tapi tak masalah.
Begitu kembali ke rumah, Bu Waso langsung memproses bandeng itu dengan bumbu rahasia: kunyit, bawang putih, kemiri, dan sedikit asam jawa untuk menghilangkan bau amis. Setelah dimasak setengah matang, sebagian dibekukan untuk stok, sebagian lagi digoreng garing.
Sambil memasak, Bu Waso bercerita.
“Rak, kamu tahu nggak kenapa bandeng Sidoarjo terkenal?”
“Karena durinya banyak?” jawab Raka sambil terkekeh.
“Bukan, karena rasanya gurih dan dagingnya padat. Justru karena durinya banyak, orang jadi punya teknik khusus mengolahnya, seperti presto atau pepes, supaya durinya lunak. Nah, itu yang bikin khas.”
Raka mengangguk, pura-pura paham, meski sebagian pikirannya sibuk memikirkan ide promosi. “Bu, kalau di festival nanti, kita bisa jual paket nasi liwet + bandeng goreng garing. Terus di stand kita pasang banner besar: Bandeng Sidoarjo Asli, Langsung dari DAPUR WASO!”
Bu Waso tersenyum. “Ide bagus. Kita juga bisa kasih tester kecil biar orang penasaran.”
Menjelang magrib, uji coba pun dimulai. Raka menata nasi liwet hangat di piring besar, menambahkan ayam bakar, sambal ijo, dan bandeng goreng garing.
Hasilnya luar biasa. Aroma bandeng yang baru digoreng membuat tetangga yang lewat berhenti sejenak.
Pak RT, yang kebetulan lewat, ikut mencicipi. “Waduh… kalau stand kita jual ini, pengunjung bisa antri panjang. Rasa gurihnya pas, sambalnya mantap.”
Bu Waso merasa lega. Rasa bandengnya persis seperti yang dia harapkan. Meski kejadian “bandeng hilang” sempat bikin repot, ternyata itu malah jadi bahan cerita lucu yang bisa mereka bagikan di festival nanti.
Malam itu, Raka duduk di teras sambil menulis ide promosi di buku catatannya. Ia menulis:
-
Nasi Liwet Bandeng Spesial Festival — lauk komplit, harga terjangkau.
-
Produk Frozen DAPUR WASO — bandeng presto, ayam ungkep, siap goreng/panggang.
-
Cerita Bandeng Misterius — buat pengunjung ketawa dan ingat stand kita.
Bu Waso keluar membawa dua gelas teh hangat. “Rak, apapun yang terjadi, kalau kita masak dengan hati, orang pasti bisa merasakan.”
Raka mengangguk. “Betul, Bu. Dan kalau kita cerita dengan hati, orang juga akan mengingat.”
Keduanya tertawa kecil. Di antara wangi teh melati dan udara malam yang sejuk, mereka merasa festival bulan depan sudah mulai terasa… bahkan sebelum stand pertama dibangun.
Bersambung ke Episode 3 — “Arisan Heboh”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar